Tuesday, November 20, 2007

Tugas Binapenta dan BNP2TKI Jangan Bertabrakan

PENEMPATAN TENAGA KERJA
Tugas Binapenta dan BNP2TKI
Jangan Bertabrakan


Jumat, 16 Nopember 2007
JAKARTA (Suara Karya): Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) diminta membuat ketentuan teknis tentang tugas serta wewenang Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta). Hal ini dikarenakan, tugas dan wewenang Ditjen Binapenta hampir sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Ketentuan teknis tersebut diterbitkan agar tidak terjadi kerancuan di kedua instansi dalam menjalan tugas.

"Dengan dilantiknya Dirjen Binapenta di jajaran Depnakertrans, kami meminta agar ada kejelasan pembagian tugas dan fungsi. Ini dilakukan agar tidak saling bertabrakan dan membuat bingung PPTKIS (pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta)," kata Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani, di Jakarta, Rabu.

Yunus lantas menyebutkan sejumlah contoh, di antaranya, Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2006 yang kini diperbarui menjadi Nomor 18 Tahun 2007 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Di sisi lain BNP2TKI juga mengeluarkan Peraturan Kepala BNP2TKI tentang penempatan dan perlindungan TKI Nomor Peraturan 28/KA-BNP2TKI/VII/2007.

Contoh lain, BNP2TKI mengeluarkan keputusan tentang penempatan satu pintu TKI ke Singapura, tetapi Mennakertrans mencabut SK tersebut karena terkesan monopoli. Selanjutnya, BNP2TKI mengeluarkan surat keputusan (SK) pembentukan Komite Korea, tetapi dibatalkan oleh Menakertrans. Alasannya karena dinilai salah dan SK itu memasukkan unsur swasta dalam komite yang seharusnya menjadi hak mutlak pemerintah.

Selain itu, BNP2TKI mengambil alih pelayanan dan pemulangan TKI di Terminal III Bandara Soekarno Hatta. Sementara Mennakertrans melalui peraturan Nomor 18 Tahun 2007 mengatakan pemulangan TKI di terminal kedatangan dilayani oleh Pos Pelayanan. "Namun tidak dijelaskan siapa yang wajib menjalankan tugas di Pos Pelayanan itu, apakah Depnakertrans atau BNP2TKI," kata Yunus.

Contoh terakhir yang dicatat Himsataki, BNP2TKI memberi sanksi dengan tidak melayani sebuah konsorsium asuransi TKI, tapi langsung diprotes oleh Depnakertrans dan menyatakan hak menjatuhkan sanksi ada di Depnakertrans, bukan BNP2TKI. (Andrian)

Memakan bangsa sendiri…

Nasib malang buruh migran perempuan di Arab Saudi . Dikutip dari INSTITUT BURUH MIGRAN,

“Mas disini mah biasa…driver punya peliharaan TKW nyampe 20 orang” kata driver asal Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Perilaku ini baru sebagian yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan tega menjerumuskan para buruh migran perempuan padahal sama-sama berasal dari Indonesia.


Para buruh migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi umumnya yang perempuan menjadi pembantu rumah tangga (housekeeper), sedangkan yang pria menjadi sopir (driver). Namun maraknya perlakuan buruk yang menimpa buruh migran Indonesia terutama perempuan ketika harus mencari upaya meminta pertolongan malah berbuntut dengan masuk ke kandang macan !

Para buruh migran perempuan yang mendapat perlakuan buruk majikannya biasanya kabur tanpa sempat membawa dokumen. Tatanan hukum dan budaya di Arab Saudi tidaklah seperti di Indonesia. Bagi masyarakat di sana, seorang perempuan ketika terlihat berjalan sendirian di jalanan umum, walau pun dengan identitas tapi tidak jelas tujuan bisa di tangkap polisi. Apa lagi yang tidak beridentitas. Sehingga mencari perlindungan terdekat dan mudah merupakan solusi praktis bagi buruh migran perempuan yang kabur dari majikan.

Dalam keadaan kalut inilah, para buruh migran perempuan sering kali meminta bantuan perlindungan dari buruh migran Indonesia yang pria. Tapi sayangnya, para buruh migran pria dan umumnya bekerja sebagai driver ini sering kali mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Para buruh migran pria ini ketika menampung “pelarian” buruh migran perempuan acapkali memperkosa. Dalih yang di ucapkan para buruh migran pria ini biasanya dilakukan suka sama suka. Ironis sekaligus menyayat hati melihat perilaku para buruh migran pria yang mempunyai tingkah laku seksual biadab ini. Sesama perantauan di negeri asing ternyata tidak menumbuhkan rasa persaudaraan, justru nafsu binatang lah yang menyeruak.

Tidak cukup dengan memperkosa atau memaksa berbuat zinah, setelah puas, para buruh migran perempuan ini kemudian di jual kepada majikan baru oleh para penampungnya ini. Untuk setiap buruh migran perempuan yang di jual, para buruh migran pria ini akan mendapat imbalan 100-200 real (250rb - 500rb) dari majikan baru. Mereka ini tidak peduli apakah majikan baru bersikap baik atau tidak, yang penting dapat uang dari hasil menjual saudara sebangsanya sendiri !

Fenomena ini luput dari pengamatan banyak pihak, terlebih lagi pemerintah. Perilaku sesama anak bangsa yang malah memakan saudaranya sendiri tidak pernah di ekspos secara terbuka. Hal ini menjadi duri di dalam daging, ketika banyak pihak yang sangat peduli untuk membuat nasib buruh migran Indonesia lebih baik, ternyata di hadapkan pada kenyataan bahwa ada sebagian orang-orang Indonesia yang bekerja di Arab Saudi ternyata menjadikan para buruh migran perempuan sebagai budak seks dan budak belian.

Pemerintah harus segera mengakhiri lingkaran setan ini. Upaya yang dapat segera dilakukan adalah menangkap dan mendeportasi orang-orang Indonesia yang menjadikan para buruh migran perempuan sebagai budak seks dan budak belian. Hukum mereka dengan seberat-beratnya. Kejahatan yang dilakukan para oknum ini sangat tidak termaafkan karena telah menodai ibu pertiwi.(btl)

Ditulis dalam Institut Buruh Migran |

BNP2TKI, riwayatmu kini..

November 3, 2007 oleh Jejak-Jejak

BNP2TKI, riwayatmu kini
Kebingungan pemerintah, kebingungan birokrasi, dikutip dari INSTITUT BURUH MIGRAN

Persoalan yang sering mendera para buruh migran Indonesia ketika bekerja di luar negeri, coba di antisipasi pemerintah dengan membuat sebuah lembaga baru. Di awal 2007 pemerintah meresmikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Eksistensi, fungsi dan tugas dari BNP2TKI sejak awal sudah menuai kontroversi banyak pihak. Mulai dari kalangan legislatif yang merasa kebakaran jenggot karena pemerintah tidak pernah mengkonsultasikan pembentukan lembaga ini kepada tuan-tuan terhormat yang berada di Senayan. Sampai kepada sorotan para aktivis mau pun lembaga yang selama iini bergelut dengan dinamika buruh migran atas penunjukkan Jumhur Hidayat untuk memimpin lembaga ini.

Pembentukan BNP2TKI sebagai lembaga pemerintah non departemen yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan buruh migran, ternyata masih masih sayup-sayup kedengaran kiprahnya. Padahal BNP2TKI merupakan badan yang berada di bawah, dan langsung bertanggungjawab kepada presiden.

Gelontoran dana dari APBN untuk menghidupi BNP2TKI juga tidak bisa dibilang kecil. Melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), per Februari 2007 telah di salurkan anggaran sebesar Rp 97 miliar kepada lembaga ini untuk biaya operasional pelaksanaan-pelaksanaan kebijakan dan 36 Milyar untuk BNP2TKI di daerah. Dana ini belum termasuk 29 perwakilan di luar negeri. Untuk RAPBN 2008, pemerintah tidak tanggung-tanggung meminta gelontoran anggaran dana APBN 2008 sebesar Rp 273.5 milyar untuk BNP2TKI!

Namun sayangnya, permintaan gelontoran dana tidak identik dengan perkuatan kapasitas kelembagaan ini. Secara perlahan-lahan BNP2TKI hanya sebatas menjadi mesin birokrasi yang sering ngadat ketika mengurusi buruh migran. BNP2TKI kehilangan roh sebagai tangan negara yang harus benar-benar melindungi rakyatnya terutama para buruh migran yang mengadu nasib di luar negeri.

Yang naik nampak kepermukaan adalah ketakutan kehilangan kewenangan dan pundi-pundi uang dari beberapa departemen atas munculnya lembaga baru ini. Jauh-jauh hari, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah mewanti-wanti bahwa untuk urusan buruh migran, Depnakertrans sebagai pembuat kebijakan atau regulator dan BNP2TKI sebagai pelaksananya, jadi tidak akan tumpang tindih.

Sekilas nampak oke-oke saja, tapi kondisi lapangan ternyata tidak semudah yang diomongkan para petinggi birokrat ini. Untuk persoalan keberadaan dan sepak terjang Perusahaan Pengerah jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI) ilegal saja, BNP2TKI tidak punya “gigi” untuk menindak tegas.

Padahal buruh migran berangkat melalui PPJTKI ilegal jelas menjadi ilegal statusnya. Tapi sangat jarang terdengar pengelola dan manajemen PPJTKI ilegal yang dituntut sampai ke pengadilan untuk diganjar hukuman penjara dan pembayaran denda. Yang ada adalah semakin maraknya PPJTKI ilegal dimana-mana, seakan-akan tidak mau kalah dengan maraknya mal dan pusat perbelanjaan.

Kasus lain yang terjadi di lapangan misalnya pemalsuan dokumen. Hampir semua orang tahu dan paham tempat-tempat yang menjadi area pemalsuan dokumen untuk buruh migran. Padahal selain penempatan dan perlindungan, BNP2TKI juga mempunyai tugas penyelesaian masalah TKI termasuk didalamnnya melakukan pengawasan terhadap dokumen.

Namun lagi-lagi, BNP2TKI tidak bisa apa-apa. Paling banter hanya menghimbau dan sekali lagi menghimbau. Pemalsuan dokumen menyangkut buruh migran dengan melibatkan aparat pemerintah dan lintas departemen telah menjadi gurita raksasa yang sewaktu-waktu dapat menelan BNP2TKI.

Fenomena tersebut hanya merupakan setitik air kecil dari lautan persoalan yang terus ada dalam dinamika buruh migran. Ketika untuk persoalan kecil saja tidak mampu di atasi oleh lembaga ini, mungkin lebih baik lembaga ini berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Tuhan. Biar orang-orang yang berada di lembaga ini lebih berani untuk berjibaku mengurusi nasib buruh migran, karena kalau tidak becus hukumannya jelas yaitu siksa api neraka ! (btl)

Ditulis dalam Institut Buruh Migran |

Siapa Peduli Nasib TKI?

7 Nopember 2007,Ketenagakerjaan, Suara Pembaruan

Oleh Abdullah Yazid

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri memberikan devisa cukup besar bagi negeri ini. Besarnya kiriman uang selalu naik dari tahun ke tahun. Jumlah yang pergi ke luar negeri dan menjadi TKI baru pun cukup banyak. Berdasarkan pemberitaan surat kabar, dari sekitar 400 perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia atau PJTKI dan 300 balai latihan kerja di seluruh Indonesia banyak yang berpredikat tidak layak. Sungguh mengkhawatirkan.

Parahnya, proses dan mekanisme bekerja di luar negeri seringkali berbelit-belit. Bahkan, KPK menemukan 11 titik rawan dalam sistem pelayanan, penempatan, dan perlindungan TKI dengan potensi korupsi yang sangat merugikan. Jika faktanya demikian, jangan heran jika sebagian dari mereka justru menggunakan jalur dan proses ilegal yang jauh lebih mudah dan murah. Jumlah TKI ilegal ini diperkirakan lebih banyak dari yang legal, namun jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Umumnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di perkebunan.

Fakta ini menyebabkan timbulnya beberapa masalah serius. Pertama, minimnya perlindungan hukum bagi para tenaga kerja tersebut baik dalam maupun luar negeri. Kedua, kurangnya jaminan keamanan dan kesejahteraan para TKI di tempat mereka bekerja. Kasus Ceriyati dan Suparti, dua TKI di Malaysia yang melarikan diri dari tempat mereka bekerja, cukup menunjukkan betapa TKI kita berada pada posisi minus proteksi dan lemah di depan hukum. Ketiga, muncul problem struktural hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara tempat para TKI bekerja akibat persoalan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Belum lagi jika pemerintah dihadapkan pada masalah dalam negeri akibat "pengusiran paksa" tenaga kerja, seperti yang sering dilakukan pemerintah asing. Bahkan, baru-baru ini puluhan calon pekerja Indonesia dengan tujuan Korea Selatan sempat tertipu oleh oknum di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Penipunya diperkirakan menerima ratusan juta dari aksinya. Lengkap sudah kemalangan TKI kita, bahkan yang masih berstatus calon TKI.

Dilema

Sejauh ini, pemerintah terlihat belum memiliki kebijakan taktis dan strategis mengatasi persoalan TKI. Besarnya devisa negara yang bisa diperoleh dari sektor penempatan TKI di luar negeri bisa jadi membuat pemerintah "mempertahankan" mereka.

Faktanya pun jumlah TKI dari tahun ke tahun makin banyak. Di Jatim saja, sebagai provinsi yang terhitung menyumbang TKI cukup banyak, jumlah TKI yang berangkat selama 2006 mencapai 58.547 orang, meningkat dari 2005 sebanyak 56.033 orang.

Sayangnya, proses dan mekanisme penempatan kerja di luar negeri tidak juga kunjung membaik. Pemerintah dalam konteks ini masih saja kurang memperhatikan prinsip manajemen pelayanan yang berbasis pemenuhan kepuasan konsumen. Yang terjadi, proses yang harus ditempuh selalu melalui tahapan yang membutuhkan waktu lama, berbelit-belit, dan sangat memakan biaya.

Menyelesaikan problem TKI luar negeri dengan aneka kasus di atas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, kasus-kasus tersebut menyangkut hubungan unilateral antarnegara. Kasus yang terjadi seolah menjadi lingkaran setan. Misalnya, adanya peraturan perundangan pemerintah setempat yang diskriminatif dan sepihak, seperti yang baru saja dilakukan oleh pemerintah Malaysia terhadap para tenaga kerja asing yang bekerja di negara itu. Bahkan, tidak jarang TKI juga mengalami penganiayaan, penipuan, dan pelecehan seksual. Terkadang, TKI sendiri yang justru melanggar, misalnya, mencuri atau lalai dalam pekerjaan.

Penyelesaian kasus per kasus tersebut sudah barang tentu akan membutuhkan kajian sosial politik yang mendalam karena menyangkut kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia secara keseluruhan.

Di negara-negara maju upaya memberikan perlindungan dan pembinaan tenaga kerja menjadi dimensi penting bagi kemajuan industri. Sebaliknya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaannya belum dioptimalkan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pelatihan Optimal

Dalam menyikapi masalah TKI, rendahnya kualitas dan etos kerja, serta pengangguran yang membeludak, pemerintah perlu sesegera mungkin memikirkan upaya capacity building dan penyediaan fasilitas yang memadai. Ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pengalaman, sekaligus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama. Misalnya, kepada TKI dan usia-usia produktif di masyarakat yang berkecenderungan ingin bekerja ke luar negeri diberikan pelatihan kerja secara optimal agar dapat meningkatkan kemampuan demi terciptanya produktivitas kerja.

Apalagi, kita saat ini dihadapkan pada era keterbukaan global, seperti, AFTA, NAFTA, dan era liberalisasi. Mau tidak mau, kualitas tenaga kerja Indonesia harus meningkat agar dapat bersaing di pasaran tenaga kerja. Sekurang-kurangnya, tenaga kerja kita harus bisa bersaing di negeri sendiri, karena aliran tenaga kerja asing akan menerpa Indonesia di era globalisasi tersebut.

Selain itu, pemerintah mesti mulai menciptakan program padat karya produktif, mengingat kekayaan lokal kita seringkali hanya dijual mentah-mentah tanpa mengetahui proses kreatif. Solusi selanjutnya adalah usaha mandiri. Usaha macam inilah yang bisa bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi beberapa waktu lalu. Yang tidak kalah penting, bangsa ini juga harus mulai membangun basis tenaga kerja pemuda mandiri profesional. Saat ini, kurang lebih satu juta sarjana yang tidak memiliki pekerjaan. Akan lebih bermanfaat jika para sarjana ini pulang kampung dan membangun desanya.

Penulis adalah Peneliti Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes, Malang