Tuesday, November 20, 2007

Siapa Peduli Nasib TKI?

7 Nopember 2007,Ketenagakerjaan, Suara Pembaruan

Oleh Abdullah Yazid

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri memberikan devisa cukup besar bagi negeri ini. Besarnya kiriman uang selalu naik dari tahun ke tahun. Jumlah yang pergi ke luar negeri dan menjadi TKI baru pun cukup banyak. Berdasarkan pemberitaan surat kabar, dari sekitar 400 perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia atau PJTKI dan 300 balai latihan kerja di seluruh Indonesia banyak yang berpredikat tidak layak. Sungguh mengkhawatirkan.

Parahnya, proses dan mekanisme bekerja di luar negeri seringkali berbelit-belit. Bahkan, KPK menemukan 11 titik rawan dalam sistem pelayanan, penempatan, dan perlindungan TKI dengan potensi korupsi yang sangat merugikan. Jika faktanya demikian, jangan heran jika sebagian dari mereka justru menggunakan jalur dan proses ilegal yang jauh lebih mudah dan murah. Jumlah TKI ilegal ini diperkirakan lebih banyak dari yang legal, namun jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Umumnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di perkebunan.

Fakta ini menyebabkan timbulnya beberapa masalah serius. Pertama, minimnya perlindungan hukum bagi para tenaga kerja tersebut baik dalam maupun luar negeri. Kedua, kurangnya jaminan keamanan dan kesejahteraan para TKI di tempat mereka bekerja. Kasus Ceriyati dan Suparti, dua TKI di Malaysia yang melarikan diri dari tempat mereka bekerja, cukup menunjukkan betapa TKI kita berada pada posisi minus proteksi dan lemah di depan hukum. Ketiga, muncul problem struktural hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara tempat para TKI bekerja akibat persoalan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Belum lagi jika pemerintah dihadapkan pada masalah dalam negeri akibat "pengusiran paksa" tenaga kerja, seperti yang sering dilakukan pemerintah asing. Bahkan, baru-baru ini puluhan calon pekerja Indonesia dengan tujuan Korea Selatan sempat tertipu oleh oknum di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Penipunya diperkirakan menerima ratusan juta dari aksinya. Lengkap sudah kemalangan TKI kita, bahkan yang masih berstatus calon TKI.

Dilema

Sejauh ini, pemerintah terlihat belum memiliki kebijakan taktis dan strategis mengatasi persoalan TKI. Besarnya devisa negara yang bisa diperoleh dari sektor penempatan TKI di luar negeri bisa jadi membuat pemerintah "mempertahankan" mereka.

Faktanya pun jumlah TKI dari tahun ke tahun makin banyak. Di Jatim saja, sebagai provinsi yang terhitung menyumbang TKI cukup banyak, jumlah TKI yang berangkat selama 2006 mencapai 58.547 orang, meningkat dari 2005 sebanyak 56.033 orang.

Sayangnya, proses dan mekanisme penempatan kerja di luar negeri tidak juga kunjung membaik. Pemerintah dalam konteks ini masih saja kurang memperhatikan prinsip manajemen pelayanan yang berbasis pemenuhan kepuasan konsumen. Yang terjadi, proses yang harus ditempuh selalu melalui tahapan yang membutuhkan waktu lama, berbelit-belit, dan sangat memakan biaya.

Menyelesaikan problem TKI luar negeri dengan aneka kasus di atas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, kasus-kasus tersebut menyangkut hubungan unilateral antarnegara. Kasus yang terjadi seolah menjadi lingkaran setan. Misalnya, adanya peraturan perundangan pemerintah setempat yang diskriminatif dan sepihak, seperti yang baru saja dilakukan oleh pemerintah Malaysia terhadap para tenaga kerja asing yang bekerja di negara itu. Bahkan, tidak jarang TKI juga mengalami penganiayaan, penipuan, dan pelecehan seksual. Terkadang, TKI sendiri yang justru melanggar, misalnya, mencuri atau lalai dalam pekerjaan.

Penyelesaian kasus per kasus tersebut sudah barang tentu akan membutuhkan kajian sosial politik yang mendalam karena menyangkut kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia secara keseluruhan.

Di negara-negara maju upaya memberikan perlindungan dan pembinaan tenaga kerja menjadi dimensi penting bagi kemajuan industri. Sebaliknya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaannya belum dioptimalkan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pelatihan Optimal

Dalam menyikapi masalah TKI, rendahnya kualitas dan etos kerja, serta pengangguran yang membeludak, pemerintah perlu sesegera mungkin memikirkan upaya capacity building dan penyediaan fasilitas yang memadai. Ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pengalaman, sekaligus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama. Misalnya, kepada TKI dan usia-usia produktif di masyarakat yang berkecenderungan ingin bekerja ke luar negeri diberikan pelatihan kerja secara optimal agar dapat meningkatkan kemampuan demi terciptanya produktivitas kerja.

Apalagi, kita saat ini dihadapkan pada era keterbukaan global, seperti, AFTA, NAFTA, dan era liberalisasi. Mau tidak mau, kualitas tenaga kerja Indonesia harus meningkat agar dapat bersaing di pasaran tenaga kerja. Sekurang-kurangnya, tenaga kerja kita harus bisa bersaing di negeri sendiri, karena aliran tenaga kerja asing akan menerpa Indonesia di era globalisasi tersebut.

Selain itu, pemerintah mesti mulai menciptakan program padat karya produktif, mengingat kekayaan lokal kita seringkali hanya dijual mentah-mentah tanpa mengetahui proses kreatif. Solusi selanjutnya adalah usaha mandiri. Usaha macam inilah yang bisa bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi beberapa waktu lalu. Yang tidak kalah penting, bangsa ini juga harus mulai membangun basis tenaga kerja pemuda mandiri profesional. Saat ini, kurang lebih satu juta sarjana yang tidak memiliki pekerjaan. Akan lebih bermanfaat jika para sarjana ini pulang kampung dan membangun desanya.

Penulis adalah Peneliti Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes, Malang

No comments: