Thursday, October 11, 2007

Perlindungan TKI Rentan

24 Juni 2007,Ketenagakerjaan, Suara Pembaruan

Oleh Fathullah

Tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri selama ini sering dijadikan objek perdagangan manusia. TKI mengalami kerja paksa, jadi korban kekerasan, pemerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.Simak kasus yang baru saja dialami dua TKI kita di AS, Samirah dan Enung, yang menjadi korban penyiksaan majikan mereka Varsha Mahender (35) dan suaminya Murlidhar Sabhnani (51), sehingga terpaksa dirawat di Nassau University Medical Center di Long Island, New York. Sebelumnya, kasus serupa dialami salah seorang TKI wanita asal Medan, Martini (33). Belum lama ia terpaksa pulang dari tempat bekerjanya di Hong Kong ke kampung halamannya dalam keadaan menderita lumpuh.Peristiwa tragis juga dialami Rustini, TKI yang dikirim bekerja di Yordania. Karena tak kuat menghadapi tekanan stres, ia nekat terjun dari tempat penampungan.Tragedi yang tak kalah memprihatinkan juga dialami kurang lebih 400 TKI/TKW yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan di Arab Saudi. Kini mereka tertahan di barak penampungan yang mirip penjara di Riyadh. Di antara korban TKI di Arab Saudi itu adalah Shinta Marlina Reza (20), TKI asal Cianjur, yang nasibnya terkatung-katung selama kurang lebih satu setengah tahun terakhir setelah disiksa oleh majikannya di Arab Saudi hingga cacat tangan kanan dan buta kedua matanya. Selain Shinta, ada juga Ratna binti Marzuki (40), TKW asal Sukabumi yang melarikan diri dari tempat penampungan dan mengungkapkan adanya kasus penyekapan TKI tersebut.Demikian pula yang kini dialami oleh 54 orang TKI yang menghadapi ancaman hukuman mati di Malaysia. Belum lagi kasus-kasus TKI yang terjadi pada saat ia pulang ke daerah asal. Dalam perjalanannya sering menghadapi berbagai permasalahan keamanan, di antaranya penipuan, pemerasan, pembiusan, dan bahkan sampai pada pencelakaan dirinya.Tidak BerfungsiDengan sederetan kasus yang terus terjadi itu memperlihatkan betapa lemahnya posisi dan perlindungan TKI di luar negeri. Pemerintah Indonesia yang menurut Pembukaan UUD 1945 berkewajiban melindungi setiap warga negaranya, termasuk TKI di luar negeri, sering tidak berfungsi optimal melindungi TKI, bahkan terkesan mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab konstitusional tersebut.Dengan dibentuknya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berdasarkan Perpres No 81 Tahun 2006 yang diberi tugas untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan penempatan dan perlindungan TKI, agaknya sedikit memberi harapan dan kejelasan, terutama dalam perlindungan TKI yang lebih baik dan lebih terjamin hak asasi dan martabatnya.Apakah lembaga BNP2TKI yang baru dibentuk ini dalam kenyataannya sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, sepenuhnya bergantung pada lembaga itu sendiri dan dukungan semua pihak yang terkait, serta perangkat kebijakan yang memberi kewenangan lembaga tersebut.Berdasakan definisinya, perlindungan TKI menurut Undang-Undang No 39 Tahun 2004 adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Sedangkan berkaitan dengan tugas perlindungan TKI yang khusus ditugaskan kepada BNP2TKI sebagaimana disebutkan dalam Perpres No 81 Tahun 2006 adalah mempunyai tugas merumuskan, mengkoordinasikan, melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan teknis perlindungan TKI yang meliputi standardisasi, sosialisasi dan pelaksanaan perlindungan mulai dari pra-pemberangkatan, selama penempatan, sampai dengan pemulangan.Beberapa CatatanBerdasarkan pengamatan yang dilakukan berbagai pihak, dalam hal ini penulis sendiri dari Tim CIDES mencatat beberapa permasalahan mendasar terkait dengan perlindungan TKI yang ada selama ini.Pertama, pemerintah melalui aparat terkait di luar negeri selama ini secara diplomatik belum siap untuk melindungi para TKI yang menghadapi permasalahan. Kekurangsiapan itu disebabkan terbatasnya keahlian dan keterampilan mereka untuk melakukan pembelaan hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang dibutuhkan oleh para TKI tersebut. Pada umumnya para diplomat tidak menguasai sistem hukum dan HAM tentang perlindungan buruh, termasuk tata cara beracaranya yang berlaku di negara setempat.Contoh kasus, misalnya sistem hukum di Arab Saudi yang tidak mengakui HAM yang berlaku universal. Bahkan dalam pandangan dan tradisi mereka, para TKI/TKW kita di sana dianggap budak-budak belian, sehingga rawan terjadi perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, dan pelanggaran HAM lainnya.Kedua, permasalahan mendasar lainnya dalam perlindungan TKI di luar negeri juga dihadapkan pada masalah kurang atau tidak adanya kedisiplinan dan pertanggungjawaban yang sungguh-sungguh dari aparat pemerintah yang bertugas di KBRI/KJRI untuk melindungi TKI di negara-negara tersebut. Bahkan berdasarkan informasi, keberadaan beberapa oknum aparat di KBRI/KJRI justru menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri, sehingga menjadi kendala yang mempersulit upaya perlindungan TKI, karena mereka itu turut mengambil kesempatan dan keuntungan dari permasalahan TKI tersebut.Oknum itu terindikasi, misalnya menjadi calo-calo atau agency dari TKI yang menghadapi masalah habis masa kontrak kerja atau habis masa tinggalnya di negara tersebut, atau TKI yang terkena PHK, atau juga TKI yang karena terpaksa melarikan diri dari majikannya. Kemudian TKI yang berada di dalam kekuasaannya itu diperdagangkan kembali kepada pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh dari beberapa informasi yang terungkap, khusus di negara-negara timur tengah seperti Arab Saudi, disinyalir oleh berbagai pihak sering terjadi kasus percaloan dan perdagangan gelap TKI/TKW. Oknum itu sama sekali tidak memedulikan tanggung jawabnya melindungi TKI/TKW, tapi malah bertindak seperti preman atau bagian dari mafia perdagangan gelap TKI/TKW.Ketiga, dilihat dari sisi pengguna TKI di luar negeri, selama ini mereka tidak merasa punya kewajiban melindungi TKI sesuai dengan aturan hukum dan HAM Indonesia. Mereka cenderung tidak peduli dengan apa pun kata peraturan hukum dan HAM yang berlaku di Indonesia. Satu-satunya cara untuk mengikat kepedulian mereka dan bisa dituntut secara hukum apabila dilanggar adalah dengan melakukan perjanjian tertulis (MoU), baik perjanjian antara Pemerintah negara Indonesia dan negara pengguna TKI (G to G), atau pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan jasa TKI.Di dalam Perpres No 81 Tahun 2006 berkaitan dengan tugas BNP2TKI hanya disebutkan dua jenis perjanjian tertulis, yaitu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan negara tujuan penempatan TKI atau pemerintah negara Indonesia dengan pengguna yang berbadan hukum di negara tujuan penempatan TKI. Sedangkan Inpres No 6 Tahun 2006, menyebutkan hanya satu jenis perjanjian yaitu perjanjian antara pemerintah negara Indonesia dengan negara penerima TKI.Dari kedua peraturan itu sama sekali tidak mempersyaratkan dibuatnya perjanjian yang lebih khusus dengan pihak pengguna langsung, seperti unit-unit rumah tangga untuk sektor TKI pembantu rumah tangga. Sebab, permasalahannya selama ini justru pada tingkat pengguna langsung TKI di tingkat rumah tangga inilah yang sering bermasalah. Ketiadaan persyaratan perjanjian secara langsung ini menyebabkan lemahnya posisi tawar dan perlindungan hak asasi TKI pembantu rumah tangga berhadapan dengan pihak majikannya.Sulit DilakukanKontrol pemerintah kedua negara yang membuat perjanjian, sulit dilakukan pada level rumah tangga ini. Apalagi di negara Arab Saudi yang menerapkan sistem kehidupan rumah tangganya sangat tertutup dari pantauan pihak luar, termasuk pemerintahnya, berpotensi besar terjadinya pelanggaran HAM TKI.Keempat, bermasalahnya perlindungan TKI di luar negeri juga disebabkan oleh karena faktor ketidaksiapan TKI itu sendiri yang pada umumnya terlalu dipaksakan untuk bekerja di luar negeri, terutama sebagai pembantu rumah tangga. Ketidaksiapan itu berkaitan dengan banyak hal, terutama terkait dengan ketidakmampuannya untuk memahami bahasa dan cara berkomunikasi di tempat kerja, juga ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan kerja dan memahami cara bekerja yang sesuai dengan suasana di tempat kerja.Selain itu juga, ketidaksiapannya untuk memahami perlindungan hukum dan HAM yang berlaku di negara setempat, dan tidak memiliki akses informasi dan jaringan yang memadai untuk dapat melindungi dan membela hak asasinya di luar negeri.Kelima, selanjutnya masalah perlindungan asuransi bagi TKI yang bekerja di luar negeri, banyak mendapat masalah karena sistem perasuransian TKI yang ada di Indonesia selama ini sering tidak diakui di negara tempat TKI bekerja tersebut. Di samping, sering juga para TKI ditipu oleh para calo yang mengatasnamakan perantara ke perusahaan asuransi. Mereka ini sangat pandai sekali memanfaatkan keadaan dan mengambil kesempatan di tengah sempitnya waktu persiapan berangkat ke luar negeri. Biasanya modus operandinya dengan cara bekerja sama dengan orang dalam perusahaan PJTKI atau mengatasnamakan utusan dari perusahaan asuransi tertentu, dan sebagainya.Optimalkan Peran BNP2TKIDari beberapa catatan permasalahan yang dikemukakan di atas, berkaitan dengan keberadaan, peran dan tugas BNP2TKI yang sangat diharapkan mampu secara optimal untuk merespons dengan cepat dan tepat sasaran, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, maka dengan ini perlu ada rekomendasi.Pertama, perlu meningkatkan kemampuan dan keahlian berdiplomasi bagi para diplomat di Kedubes RI dan Konjen RI di luar negeri, khususnya di negara-negara penempatan atau yang selama ini menjadi tujuan TKI yang tergolong besar dan sering bermasalah. Para diplomat itu harus diisi atau dilengkapi oleh para aktivis dan profesional hukum dan HAM yang piawai, berpengalaman, mempunyai jaringan yang kuat dan dapat diterima, serta diakui di negara setempat, sehingga dapat optimal melakukan pembelaan TKI. Pada posisi inilah peran BNP2TKI yang memiliki kewenangan menempatkan personelnya di Kedutaan Besar RI (KBRI) atau di Konsulat Jenderal RI (KJRI) di negara-negara tersebut, perlu menempatkan personel yang mempunyai berkualitas dan terpercaya tersebut.Kedua, perlu peningkatan fungsi pengawasan kepada aparat yang bertugas melindungi TKI di luar negeri. Dalam upaya mengefektifkan upaya pengawasan tersebut harus segera dilakukan evaluasi menyeluruh dan menyeleksi ulang seluruh kinerja aparat pemerintah yang diberi tugas untuk melakukan perlindungan TKI di luar negeri. Peran BNP2TKI dalam masalah ini melakukan kajian dan evaluasi menyeluruh yang hasilnya direkomendasikan kepada presiden dan lembaga yang berwenang.Ketiga, BNP2TKI dalam upaya mengefektifkan perlindungan TKI, perlu segera mengusulkan untuk perluasan atau penambahan kewenangannya melakukan perjanjian tertulis yang lebih khusus, tidak saja hanya antara pemerintah negara dan pengguna TKI yang berbadan hukum, tapi juga secara langsung dengan para pengguna TKI pada level rumah tangga-rumah tangga, dan diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan kontrol langsung terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut.Keempat, BNP2TKI perlu mengoptimalkan program pemberdayaan calon TKI dan program pengurangan pengiriman TKI pada level pembantu rumah tangga secara signifikan dengan menaikkan jumlah pengiriman TKI yang terdidik dan profesional. Dalam mewujudkan program ini BNP2TKI perlu melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang berpengalaman dan mempunyai keahlian dalam program tersebut.Kelima, BNP2TKI perlu segera mengkaji, menata dan menyeleksi ulang sistem perasuransian TKI dan perusahaan-perusahaan yang selama ini menyelenggarakan asuransi TKI. Dalam menjalankan tugas ini, BNP2TKI perlu berkoordiansi dengan Depnakertran dan PJTKI/APJATI, serta lebih jauh perlu bekerja sama dan melibatkan perusahaan asuransi, para auditor asuransi, ahli hukum, dan ahli manajemen.Penulis adalah peneliti CIDES Indonesia

No comments: