Wednesday, August 8, 2007

Berharap Hujan Emas di Negeri Orang

22 Mei 2007 - 19:20 WIB
Fathiyah Wardah Alatas
Ingin memperbaiki nasib. Tapi derita yang didapat. Ada yang disiksa, banyak yang tertipu.Kini Ida Maulida hanya bisa meratapi nasib. Wajah dan dua telapak kakinya masih lebam karena pukulan. Luka bekas sundutan besi panas juga menganga di kedua lengannya. Kepalanya pun kini dihiasi sejumlah jahitan. Badannya kurus, tatapannya kosong. Jika mengingat kekejaman yang mendera, Ida tak mampu berbicara. Air matanya menetes mengabarkan segala nestapa. "Saya menyesal ke sana kalau tahu bakal disiksa," katanya saat ditemui Voice of Human Rights di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Mimpi buruk itu berawal ketika Ida bekerja sebagai pembantu di Arab Saudi. Tugasnya sehari-hari menyapu dan mengepel lantai. Sayangnya dia bekerja pada majikan yang ringan tangan. "Kalau salah dikit saja, dipukul pakai apa saja yang ia pegang," kata gadis berumur 17 tahun asal Pekalongan ini. Ida mengalamai siksaan itu sejak pekan-pekan pertama bekerja di Negeri Petrodolar itu. Ia tak tahan hidup dalam siksaan, tapi tak kuasa kabur dari "neraka" itu. "Aku cuma bisa menangis," katanya. Setiap kali habis menyiksa, majikan itu selalu mengobati luka Ida. Mereka juga selalu membayar gaji bulanan Ida 600 riyal, setara Rp 1,2 juta. Anak kedua dari lima bersaudara ini tidak betah bekerja di rumah majikannya. Ia terus merengek minta dipulangkan. Setelah hampir enam bulan bekerja, akhirnya Ida diizinkan Ida pulang ke tanah air. Dia dibelikan tiket pesawat pulang-pergi agar mau kembali. "Saya kapok, enggak mau balik lagi. Saya mau kerja di rumah saja," ujar Ida. Kini Ida sudah di tanah air. Tapi kantongnya kosong. Gaji dari majikannya harus diserahkan kepada calo yang mengirimnya ke Arab Saudi, PT Berkayu. Berdasarkan perjanjian dengan perusahaan yang berdomisili di Yogyakarta itu, Ida harus menyerahkan gajinya selama satu setengah tahun. Katanya, uang itu merupakan pengganti ongkos perjalanan dan pendidikan. Padahal enam bulan silam, Ida berangan-angan bekerja ke luar negeri agar bisa membantu ekonomi keluarganya. "Makan sehari-hari nggak cukup," katanya.Bapaknya, Marjuk, hanya bekerja serabutan. Kadang berdagang kecil-kecilan. Kadang menjadi buruh bangunan. Sedangkan ibunya hanya ibu tumah tangga. Ida meminta restu kepada ibunya untuk mengadu nasib. Tapi kini nasi sudah menjadi bubur. Marjuk menyesali nasib putrinya. "Saya nggak kuat nahan air mata, langsung ngocor saja. Mungkin dia dipulangin karena takut mati di sana," kata Marjuk. Beda lagi nasib Wati, 27 tahun, asal Plampang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia ditipu calo bernama Taslim dari Sumbawa juga. "Kalau di Saudi, kerja dua tahun dapat Rp 30 juta. Kerjanya enak, ringan," Wati menirukan rayuan Taslim. Ia pun dijanjikan berangkat paling lambat satu bulan setelah berada di penampungan di Jakarta. "Kalau sampai tiga bulan, uangmu aku kembalikan," ujar Wati mengutip bujukan sang calo. Awal Januari lalu Wati bersama 19 rekannya menuju Jakarta. Ia mendaftar melalui PT Anugerah Sumber Rejeki yang berkantor juga di daerahnya. Setiap orang harus membayar Rp 2 juta kepada Taslim. Setelah sepekan menunggu keberangkatan, belum juga ada kabar kapan mereka berangkat ke Arab Saudi. Taslim pun memindahkan Wati dan teman-temannya ke rumah kontrakan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dua pekan tinggal di rumah kontrakan orang yang dipanggil Ibu Nur, Wati dan teman-temannya tak diizinkan keluar rumah. Bila ada polisi atau orang dari Depnaker datang mereka disembunyikan di kamar mandi. "Kalau mau keluar, kalian harus punya Rp 50 juta untuk ganti rugi," ancam Ibu Nur seperti ditirukan Wati. Selepas dari sana rumah Bu Nur, Wati dipindahkan ke PT Duta. Karena hampir dua minggu tak ada kabar, Wati menanyakan perihal keberangkatannya kepada pegawai perusahaan itu. Kata pegawai situ, nama Wati tak tercantum dalam daftar calon buruh migran. Ia hanya berstatus sebagai penumpang. Wati pun dioper ke PT Sapta Rejeki untuk dididik sambil mengurus dokumen keberangkatan. Prosesnya lebih dari dua bulan. Tempat baru ini tidak lebih baik. Sehari ia mendapat ransum dua kali saja, siang dan malam. Kalau mau minum, harus membeli air sendiri. Uang kiriman ibunya dari kampung tak pernah sampai ke tangannya. Semua dirampas oleh Taslim dan Ibu Nur. "Kalau haus aku minum air liur saja," katanya. Mandi pun hanya sekali dalam sehari. "Kalau nggak bangun jam tiga pagi, nggak bisa mandi. Nggak ada airnya. Aku pakai sabun teman. Kalau sore aku malu meminjamnya."Setelah terkatung-katung selama empat bulan Wati menghubungi suaminya di Sumbawa lewat telepon seluler temannya. Setelah dicek, ternyata PT Anugerah Sumber Rejeki yang memberangkatkannya ke Jakarta merupakan perusahaan bodong. Dia lalu menghubungi Serikat Buruh Migran Indonesia di Jakarta. Wati bisa lolos dari mimpi buruk itu. Pengalaman buruk itu membuat Wati mengubur cita-cita bekerja di luar negeri. "Aku nggak mau lagi. Lebih baik buka toko saja di kampung," katanya. Menurut Miftah, aktivis SBMI, kasus penganiayaan dan penipuan calon tenaga kerja terjadi karena perlindungan pemerintah amat lemah. Ia juga menyalahkan minimnya peran pemerintah dalam merekrut calon tenaga kerja. "Posisi tawar mereka lemah." Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Muhammad Jumhur Hidayat, mengakui banyaknya kekerasan yang dialami buruh migran karena proses penempatan kurang sempurna. "Kalau mereka harus dilatih selama 21 hari, ya dilatih selama 21 beneram, jangan hanya tiga hari. Kami sedang menertibkan," kata Jumhur.Siksaan membuat buruh migran tak hanya mengalami penderitaan fisik, tapi juga psikis. Menurut data International Organization for Migration (IOM), Maret 2005 hingga Juli 2006 terdapat 1.291 orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah tersebut 24% mengalami depresi, 22% mengalami gangguan mental, dan 19% sakit jiwa. (Fathiya Wardah Alatas/E2)

No comments: